Kamis, 12 Oktober 2017

Bagaimana..

Bagaimana cara mengatakan kepada orang-orang bahwa kamu saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bahwa betapa ingin kamu menepi sejenak dari hiruk pikuk, dari serangkaian tuntutan, rutinitas..sejenak saja, untuk menemukan dirimu yang hilang pada sejumlah bagian, untuk kembali merapikan segala yang sempat tak beraturan, terutama untuk menenangkan kepalamu yang gaduh sendirian.

Bagaimana cara mengatakan kepada orang-orang bahwa kamu saat ini sedang tidak berselera mengurusi hidup mereka sebagaimana kamu tidak memiliki daya memikirkan hidupmu sendiri.

Bagaimana cara untuk menjelaskan bahwa kamu lelah luar biasa. 

Bagaimana cara untuk pergi dari sini.

Bagaimana cara....





Dan aku seorang bocah yang kehilangan, yang tak mampu kemana, terkatung di balik jendela….*Secarik Buram-Nadafiksi

Senin, 14 September 2015

Pada Satu Sore, Medium September 2015



Menjadi manusia yang memiliki keterbatasan fisik itu kadang memang ga enak. Setiap saat harus merasakan lelahnya dipandang sebelah mata, diremehkan, keberadaannya tak begitu diterima dan disukai. Semacam warga masyarakat kelas dua. Kelas tiga. Empat. Mungkin juga lima. Atau lebih jauh lagi.

Untuk sekedar bisa diterima dan dihargai, harus berusaha mati-matian. Mengerahkan segala tenaga. Harus ada yang dianggap “menguntungkan” baru bisa diterima.

Tidak seperti mereka yang normal. Meski  hatinya busuk, meski bajingan, meski tidak berguna, tidak perlu cape-cape mengeluarkan energi untuk bisa diterima. Untuk bisa disenangi. Mereka diterima saja, tidak perlu berjuang ekstra.

Sedang kau, mesti lalui fase-fase semacam ini : dipandang sebelah mata, diabaikan, dihina, baru kemudian bisa diiterima jika dianggap keberadaanmu menguntungkan.


diri, hempaskan cahaya di hati
rasakan dalam kenikmatan malam ini.
diri, usah kau elakkan nestapa,
hanya dirimu yang kau iba,
jangan relakan...
dirimu dihempas batuan.
dirimu dihempas batuan..
diri, biarkan karma berbicara.
tak heran dirimu terisak, ucapkanlah dendam...
dirimu dihempas batuan.

dirimu dihempas batuan...
kau tuan semua, yang kau harapkan...
diri, akankah.....

*lirik lagu Cermin-Sore*

Senin, 06 Juli 2015

Tentang Garis Finish Itu


Saat ini saya adalah seseorang dengan satu kaki yang berada di sebuah perlombaan lari karena alur hidup mengharuskanku berada di sana. Hanya saya yang memiliki satu kaki di antara peserta lain. Tetapi diriku dituntut berlari dengan cara sama, dituntut mencapai garis finish dengan cara sama. Aku tidak keberatan sebetulnya, hanya saja semua menjadi lebih sulit ketika aku berjuang sendirian.

Orang-orang terdekatku, orang-orang di sekitarku, tidak ada yang mau peduli proses yang harus kuhadapi. Tidak ada yang merasa perlu mempedulikan kesedihan, kerisauan, ketakutanku menghadapi semua ini. Beban yang kuhadapi kian berat saat ini, rintangan kian sulit, sedangkan kemampuanku terbatas. Wajar jika aku ketakutan. Tapi tidak ada yang merasa perlu peduli. 

nobody know my sorrow
nobody know the trouble i’ve seen (Louis Amstrong)

Mereka hanya ingin tau saya tiba di finish seperti orang lain, seperti orang kebanyakan. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang peka, tidak ada yang berusaha menolongku agar prosesnya dapat lebih mudah. Tidak ada yang merasa perlu peduli dan ikut memikirkan masa depan yang lebih baik buatku.  

Saya kepayahan di sini. Terseok. Kelelahan. Kerap terjungkal. Jatuh terpuruk. Berdarah. Lalu mesti bangkit lagi dengan luka yang belum mengering. Semua serba sendiri. Hanya aku dan diriku yang betul-betul bisa diandalkan oleh diriku. Orang-orang itu hanya berteriak-teriak di pinggir lapangan biar aku tiba di garis finish dengan segera. 

Garis finish itu ialah pekerjaan, menikah, hidup wajar. Tidak ada yang mau peduli bahwa untuk mencapai semua itu, orang sepertiku tidaklah semudah orang lain.  Untuk mencari pekerjaan, seringkali kemampuan komunikasi jadi syarat penting. Aku ga punya itu. Bahkan beberapa waktu belakangan, suaraku semakin terasa payah. Semakin kesini aku merasa semakin sulit berkomunikasi dengan orang lain, banyak yang tidak mengerti. Aku juga ketakutan beradaptasi dengan orang-orang baru di tempat kerja. Akan lebih mudah jika aku bekerja sudah dalam keadaan yang lebih baik.

Aku ingin operasi. Aku ingin bertemu terapis wicara. Semua jadi sulit jika kemampuan finansialku terbatas. Semua tabunganku selalu ludes begitu saja untuk kebutuhanku ini itu. Untuk mendapat uang, aku harus bekerja, sedangkan aku ketakutan mencari kerja. Fix semua ini complicated.  Mungkin ini terkesan mendramatisir. Tapi tidak, ini konsekuensi logis yang tengah kuhadapi. Aku sudah melewati banyak hal sulit sepanjang hidup. Jika saat ini rapuh, tak boleh kah?

Orang-orang di sekitar melihatku berkelakar. Tertawa. Hidup normal : Makan, minum, tidur, buang hajat. Tidak ada yang tau jiwaku terluka. Tidak ada yang tau aku rapuh. Mentalku kacau. Ada badai di dadaku yang kian hari sulit kukendalikan. Isi kepalaku seakan hendak meledak. Orang-orang tidak tau itu. Dan aku tak hendak memberi tahu. Sebab sekalipun aku bicara, apa yang bisa mereka lakukan? Nothing. Hanya bilang, harus ikhlas. Ini bukan perkara ikhlas atau tidak. Ini tentang merubah nasib menjadi lebih baik. Mereka hanya peduli garis finish, bukan fisikku, bukan mentalku yang kacau dan mulai goyah.  

Aku hanya berharap ada keajaiban biar aku tiba di garis finish itu secepatnya, meski dengan bilur-bilur. Aku hanya ingin segera tiba. Agar mereka diam dan merasa puas akan kendali mereka terhadapku.

Kubayangkan seusai itu aku menepi ke kesunyian, mengobati luka-luka sendirian. Selalu sendirian.

Diri, lepaskan cahaya di hati
Rasakan dalam kenikmatan malam ini.
Diri, usah kau elakkan nestapa,
hanya dirimu yang kau iba..
jangan relakan...
Dirimu dihempas batuan...
dirimu dihempas batuan...
diri..biarkan karma berbicara..
tak heran dirimu terisak, ucapkanlah dendam...
dirimu dihempas batuan..
dirimu dihempas batuan..
kau tuan semua yang kau harapkan...
diri akankah... *Cermin-Sore*


kan kutempuh lautan bisu,
kan kupacu elegiku.. sampai aku kan membisu *400 Elegi-Sore*

(tulisan ini kubuat dalam kondisi down, 6 Juli 2015. Aku barangkali manusia merugi karena menderita batin kala harusnya bersuka ria merayakan ramadhan. Ramadhan tahun ini kacau buatku, aku tau. Emosiku labil sekali. Dan aku harus menuliskan ini, sebab ini terapi katarsisku. Aku harus menuliskan ini, sebab bagian dari perjalanan batinku)

Kamis, 25 Juni 2015

Tentang Blog dan Email yang Terlantar

Pagi ini sehabis sahur saya membuka email di akun walkinsilence07@gmail.com. Ternyata ada email masuk dari salah satu orangtua dengan buah hati yang juga menyandang CBL seperti saya. Beliau membaca blog ini kemudian mengirim email. Emailnya masuk sejak desember 2014 dan saya baru buka juni 2015! Ya ampun,  saya benar-benar merasa ga enak.. emailnya terlantar sekian bulan. Sekali lagi saya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya..


Untuk orangtua yang juga memiliki buah hati dengan kondisi sama seperti saya, saya dengan senang hati bersedia diajak sharing. Tetapi mohon maaf saya jarang sekali mengecek email dan blog ini. Bagi kalian yang ingin menemukan teman sharing barangkali bisa bergabung di grup facebook Komunitas Satu Senyum yang digagas ibu Diah Asri dkk, atau grup CBL yang digagas kak Heri (Agustinus Heriyanto).



Rabu, 01 Oktober 2014

Aku Terus Berproses..


Barangkali banyak orang, terutama yang terlahir normal, bertanya-tanya, bagaimana rasanya jadi aku? Hidup dalam keterbatasan, dalam perbedaan. 

Aku..untuk saat ini masih akan menjawab secara situasional. Dalam keadaan senang, aku akan bilang: “aku manusia bahagia. Kamu tau? terlahir berbeda tidak terlihat seburuk itu. Aku merasa sama seperti yang lainnya” Lalu aku bisa tersenyum hangat, berjalan dengan riang, bicara cerewet, dengan hati berkembang, dengan semangat di dada, menjadi pribadi positif seperti yang tertulis dalam kutipan-kutipan Mario Teguh.

“terlahir dan terasingkan tak lantas menjadi duka, hanya karena berbeda tak berarti hilang muka. karena sempurna itu hanya sebuah rencana, karna sempurna itu hanya sebuah bencana..” *SemakBelukar-Be(re)ncana*

Dalam kondisi sebahagia itu, aku bahkan merasa sanggup menggenggam dunia. Hehe.. Maksudku, aku juga bisa meraih hal penting: karir, materi, keberhasilan. 

Kadang memang aku merasa biasa saja. Toh aku melakoni kehidupan yang normal. Makan, minum, berjalan, buang hajat dan melakukan hal lainnya dengan cara yang sama seperti orang lain. Aku juga bersyukur dengan banyak sekali limpahan nikmat yang kuterima.. 

Tapi ketika down, kemungkinan besar aku akan bilang: “menjalani hidup seperti aku tuh ga mudah.. “ Lalu aku akan murung, kehilangan gairah, merasa malas bertemu orang banyak.

“murung itu sungguh indah...melambatkan butir darah...” Lagu melankolia dari ERK menjadi backsong untuk aku yang sedang duduk di sudut kamar, meringkuk dan enggan keluar dari selimut. Seperti orang sakit demam.

Aku memang belum sehebat orang lain yang memiliki kondisi yang sama denganku. Aku belum bisa seutuhnya tegar dan berkata dengan bangga soal kondisiku. Sering aku merasa tertekan, terpuruk, merasa tidak mampu meraih apa-apa. 

Kerap aku merasa seperti alien. Aku merasa aku manusia paling menyedihkan dibanding orang lain. Aku merasa tidak berharga. Ya, ketika kata “beda” bisa membuatmu terasing dari spesiesmu sendiri. 

Aku teringat orang-orang yang melihatku dengan tatapan aneh atau kasihan. Aku sedih mengingati orang-orang yang kesulitan berkomunikasi denganku. Dan aku marah pada orang-orang yang tidak sudi memberi mata hanya karna aku begini. Kadang aku benci manusia-manusia macam itu. Tapi kadang aku bisa ketawa-tawa dan bilang, “gapapa...mereka bagian dari keseimbangan. Dunia toh ga melulu berisi orang-orang baik saja“

Tapi tentu saja aku mengandaikan terwujudnya sebuah dunia yang jauh lebih ramah kelak, bukan hanya untuk orang sepertiku, tapi untuk semua manusia, apapun bentuknya, apapun warna kulitnya. You may say i’m a dreamer, but i’m not the only one (John Lennon-Imagine)

Jadi..begitulah. Sampai saat ini aku masih sensitif dan labil.  Aku mudah bad mood, mengunci diri di kamar dan enggan bertemu orang banyak. Aku selalu berhati-hati soal ini. Aku tidak pernah mau dan tidak suka jika keluargaku memergoki aku menangis soal ini. Entahlah, aku risih jika mempermasalahkan soal kekuranganku ini. Pertama, keluargaku sendiri cenderung canggung membahasnya, barangkali takut melukaiku. Kedua, aku tidak suka dikasihani. Ketiga, aku juga tidak mau mereka ikut terluka. 

Sejak kecil, aku tidak pernah mengadu soal hal-berat yang menimpaku yang berkaitan dengan kekuranganku. Perlakuan tidak mengenakkan orang-orang maupun kesulitan yang kuhadapi aku tak pernah bilang, kecuali mereka tau sendiri. Sejak kecil begitu. Sehingga keluargaku barangkali tak pernah tau pengalaman jatuh bangun macam apa yang aku rasakan dengan kekurangan ini. Mereka barangkali menganggap aku jagoan segala situasi. Biarlah, tak apa. Yang menanggung beban biar hanya aku..

Tapi aku juga berharap bisa tiba di situasi yang lebih baik. Aku ingin betulan kuat, tegar, emosi bisa selalu stabil... Aku malu... belum bisa ikhlas dan bersyukur, padahal hidupku sebenarnya indah, tetapi tetap saja aku sering terpuruk karena kondisi ini.

Aku ingin benar-benar ikhlas dengan keadaanku. Sehingga aku bisa berjalan dengan rasa syukur sebagai aku yang telah dikaruniai banyak sekali nikmat. Doakan semoga aku selalu bisa lebih baik dari ini.

Dan aku akan terus berproses... Terus...