Pada postingan sebelumnya, saya sudah bercerita bahwa semasa kanak-kanak
saya belum terlalu paham dengan kondisi fisik saya. Saya belum tahu bahwa saya
penyandang celah langit-langit. Dan saat itu saya juga tidak “terlalu yakin”
bahwa saya memiliki kekurangan, sebab saya sendiri merasa normal dan baik-baik
saja. Saya hanya bingung kenapa banyak yang kesulitan berkomunikasi dengan
saya.
Seingat saya, saat TK dan SD saya tidak begitu mempersoalkan kondisi
fisik saya ini. Barangkali karena pada usia itu belum mengerti arti “berbeda”.
Seperti yang saya tulis, saya memiliki masa kecil yang menyenangkan. Teman sekolah
yang baik, lucu, sering membuat tertawa. Saya juga berhasil meraih prestasi
akademik maupun non akademik. Hidup
terasa normal bagi saya. Seperti anak-anak pada umumnya. Hanya sesekali saja
saya merasa resah, bingung, sedih, terutama setelah menghadapi peristiwa kurang
mengenakkan yang berhubungan dengan kesulitan komunikasi maupun bullying yang
saya alami (lain waktu saya ceritakan).
Meski saya yakin jika suara saya normal, tapi karna lingkungan sekitar
membuat saya bingung, maka sering saya minder dan takut bicara dengan orang
baru maupun bicara di depan orang banyak, di kelas misalnya. Saat SD saya tidak
berani menjawab pertanyaan guru. Saya memang terbiasa ngobrol dengan
teman-teman lain, tapi tidak untuk menjawab pertanyaan guru atau untuk bicara
sendiri di depan kelas.
Saya mulai serius memikirkan kondisi fisik saat SMP. Mungkin karena
peristiwa yang menunjukkan bahwa saya berbeda semakin sering terjadi.
Orang-orang baru di sekitar saya juga cenderung lebih frontal mempertanyakan
kondisi saya. Hal ini membuat saya mau tidak mau semakin memikirkan kekurangan
yang saya miliki.
Saya memang memiliki masa remaja yang cukup menyenangkan, tetapi perasaan minder
lebih tinggi dibanding ketika masih kanak-kanak dulu. Saya juga masih belum
berani bicara di depan kelas seperti saat SD. Meski begitu, prestasi akademik
saya masih stabil. Tiga tahun di SMP saya selalu rangking dua. Saat SD juga
begitu, konsisten di rangking dua, hanya dua kali saya mendapat rangking tiga.
Selain itu seperti remaja pada umumnya saya juga mulai mengalami masa puber
sehingga mulai memikirkan kondisi fisik dengan lebih serius. Saya mulai merasa
ada yang tidak beres dengan diri saya. Semakin hari saya yakin bahwa saya
memang berbeda.
Pada saat itu saya belum tau istilah cleft palate/celah langit, sedangkan
celah bibir memang sudah saya kenal. Saya mengenal beberapa orang yang
mengalami celah bibir di lingkungan tempat saya tinggal. Tetapi karena pada
kasus saya, saya memiliki lubang di langit-langit bukan pada bibir, maka saya
juga ragu, apakah saya ini termasuk penderita celah bibir atau bukan.
Saya baru tau istilah cleft palate/palatoschisis saat operasi penutupan
celah langit (palatoplasty) pada bulan Agustus 2005 (saya tidak sabar berbagi cerita tentang hari bersejarah ini, secepatnya saya
tulis)
Agustus 2005 itu jadi momen yang sangat menakjubkan. Bagaimana saya selama
belasan tahun merasa bingung sendirian dan bertanya-tanya dengan kondisi saya
kemudian pada suatu hari akhirnya semua terjawab sudah. Terbukalah semua
misteri dan tanda tanya di kepala, kenapa langit langit mulut saya terbelah,
kenapa suara saya tidak terlalu jelas.... Ohhhh jadi aku ini penyandang cleft
palate ya...
Tetapi sampai hari ini, saya juga belum tau apakah saya hanya menderita
palato atau dengan labio juga, (mengingat saya punya bekas jahitan di atas
bibir dan bibir atas yang sedikit terbelah di bagian tengah), saya belum tanya
orangtua, nanti yah, sebentar lagi.
Sejak tau saya menyandang cleft palate saya lebih rajin mencari literatur
mengenai celah langit dan celah bibir. Apalagi sekarang akses informasi jauh lebih mudah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
Berikut ini salah satu referensi yang saya dapat:
Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah
dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal
selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak
menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara
rongga hidung dan mulut. Oleh karena itu, pada palatoschisis, anak biasanya
pada waktu minum sering tersedak dan suaranya sengau. Cleft palate dapat
terjadi pada bagian apa saja dari palatum, termasuk bagian depan dari langitan
mulut yaitu hard palate atau bagian belakang dari langitan mulut yang lunak yaitu
soft palate.
Cleft palate mempunyai banyak sekali implikasi fungsional dan estetika bagi
pasien dalam interaksi social mereka terutama kemampuan mereka untuk
berkomunikasi secara efektif dan penampilan wajah mereka. Koreksi sebaiknya
sebelum anak mulai bicara untuk mencegah terganggunya perkembangan bicara.
Penyuluhan bagi ibu si anak sangat penting, terutama tentang cara memberikan
minum agar gizi anak memadai saat anak akan menjalani bedah rekonstruksi.
Kelainan bawaan ini sebaiknya ditangani oleh tim ahli yang antara lain terdiri
atas ahli bedah, dokter spesialis anak, ahli ortodonsi yang akan mengikuti
perkembangan rahang dengan giginya, dan ahli logopedi yang mengawasi dan
membimbing kemampuan bicara
Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan wajah,
inkompetensi velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan
fungsi tuba eustachi. Kesemuanya memberikan gejala patologis mencakup kesulitan
dalam intake makanan dan nutrisi, infeksi telinga tengah yang rekuren, ketulian,
perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan pada pertumbuhan wajah. Adanya
hubungan antara rongga mulut dan hidung menyebabkan berkurangnya kemampuan
untuk mengisap pada bayi (sumber: http://fathirphoto.wordpress.com/2011/11/0)
Jadi, begitulah...
Uhm saya mau ngetik revisian proposal dulu yah, dikejar waktu..lain waktu
saya sambung lagi. Terimakasih sudah berkunjung. Salam.