Saat
ini saya adalah seseorang dengan satu kaki yang berada di sebuah perlombaan
lari karena alur hidup mengharuskanku berada di sana. Hanya saya yang memiliki
satu kaki di antara peserta lain. Tetapi diriku dituntut berlari dengan cara
sama, dituntut mencapai garis finish dengan cara sama. Aku tidak keberatan
sebetulnya, hanya saja semua menjadi lebih sulit ketika aku berjuang sendirian.
Orang-orang terdekatku, orang-orang di sekitarku, tidak ada yang mau peduli proses yang harus
kuhadapi. Tidak ada yang merasa perlu mempedulikan kesedihan, kerisauan,
ketakutanku menghadapi semua ini. Beban yang kuhadapi kian berat saat ini,
rintangan kian sulit, sedangkan kemampuanku terbatas. Wajar jika aku ketakutan.
Tapi tidak ada yang merasa perlu peduli.
nobody know my sorrow
nobody know the trouble i’ve seen
(Louis Amstrong)
Mereka
hanya ingin tau saya tiba di finish seperti orang lain, seperti orang
kebanyakan. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang peka, tidak ada yang berusaha
menolongku agar prosesnya dapat lebih mudah. Tidak ada yang merasa perlu peduli
dan ikut memikirkan masa depan yang lebih baik buatku.
Saya
kepayahan di sini. Terseok. Kelelahan. Kerap terjungkal. Jatuh terpuruk.
Berdarah. Lalu mesti bangkit lagi dengan luka yang belum mengering. Semua serba
sendiri. Hanya aku dan diriku yang betul-betul bisa diandalkan oleh diriku. Orang-orang
itu hanya berteriak-teriak di pinggir lapangan biar aku tiba di garis finish
dengan segera.
Garis
finish itu ialah pekerjaan, menikah, hidup wajar. Tidak ada yang mau
peduli bahwa untuk mencapai semua itu, orang sepertiku tidaklah semudah
orang lain. Untuk mencari pekerjaan,
seringkali kemampuan komunikasi jadi syarat penting. Aku ga punya itu. Bahkan
beberapa waktu belakangan, suaraku semakin terasa payah. Semakin kesini aku
merasa semakin sulit berkomunikasi dengan orang lain, banyak yang tidak
mengerti. Aku juga ketakutan beradaptasi dengan orang-orang baru di tempat
kerja. Akan lebih mudah jika aku bekerja sudah dalam keadaan yang lebih baik.
Aku
ingin operasi. Aku ingin bertemu terapis wicara. Semua jadi sulit jika
kemampuan finansialku terbatas. Semua tabunganku selalu ludes begitu saja untuk
kebutuhanku ini itu. Untuk mendapat uang, aku harus bekerja, sedangkan aku
ketakutan mencari kerja. Fix semua ini complicated. Mungkin ini terkesan mendramatisir. Tapi
tidak, ini konsekuensi logis yang tengah kuhadapi. Aku sudah melewati banyak
hal sulit sepanjang hidup. Jika saat ini rapuh, tak boleh kah?
Orang-orang
di sekitar melihatku berkelakar. Tertawa. Hidup normal : Makan, minum, tidur, buang hajat. Tidak ada yang tau jiwaku terluka. Tidak ada yang tau aku rapuh. Mentalku
kacau. Ada badai di dadaku yang kian hari sulit kukendalikan. Isi kepalaku
seakan hendak meledak. Orang-orang tidak tau itu. Dan aku tak hendak memberi
tahu. Sebab sekalipun aku bicara, apa yang bisa mereka lakukan? Nothing. Hanya
bilang, harus ikhlas. Ini bukan perkara ikhlas atau tidak. Ini tentang merubah
nasib menjadi lebih baik. Mereka hanya peduli garis finish, bukan fisikku,
bukan mentalku yang kacau dan mulai goyah.
Aku
hanya berharap ada keajaiban biar aku tiba di garis finish itu secepatnya,
meski dengan bilur-bilur. Aku hanya ingin segera tiba. Agar mereka diam dan
merasa puas akan kendali mereka terhadapku.
Kubayangkan
seusai itu aku menepi ke kesunyian, mengobati luka-luka sendirian. Selalu
sendirian.
Diri,
lepaskan cahaya di hati
Rasakan
dalam kenikmatan malam ini.
Diri,
usah kau elakkan nestapa,
hanya
dirimu yang kau iba..
jangan
relakan...
Dirimu
dihempas batuan...
dirimu
dihempas batuan...
diri..biarkan
karma berbicara..
tak
heran dirimu terisak, ucapkanlah dendam...
dirimu
dihempas batuan..
dirimu
dihempas batuan..
kau
tuan semua yang kau harapkan...
diri
akankah... *Cermin-Sore*
kan kutempuh lautan bisu,
kan kupacu elegiku.. sampai aku kan membisu *400 Elegi-Sore*
(tulisan
ini
kubuat dalam kondisi down, 6 Juli 2015. Aku barangkali manusia merugi
karena menderita batin kala harusnya bersuka ria merayakan ramadhan.
Ramadhan
tahun ini kacau buatku, aku tau. Emosiku labil sekali. Dan aku harus
menuliskan ini, sebab ini terapi katarsisku. Aku harus menuliskan ini,
sebab bagian dari perjalanan batinku)